Senin, 08 April 2019

Alasan mengapa adanya perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagaman

Alasan mengapa adanya perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagaman

Terdapat dua hal yang secara dominan mempengaruhi dinamika dan struktur social masyarakat, yaitu agama dan budaya local Dalam masyarakat Indonesia, dua hal tersebut memiliki peranan penting dalam membentuk karakter dan perilaku sosial yang kemudian sering disebut sebagai "jati diri” orang Indonesia. Karakter tersebut mewarnai hampir semua aspek sosial masyarakat Indonesia baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Dalam masyarakat Indonesia, dua hal tersebut memiliki peranan penting dalam membentuk karakter dan perilaku sosial yang kemudian sering disebut sebagai "jati diri” orang Indonesia. Karakter tersebut mewarnai hampir semua aspek sosial masyarakat Indonesia baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.

Rasul telah mencontohkan cara melakukan akulturasi antara ajaran Islam dan tradisi bangsa Arab pada abad ke-7. Ada tiga mekanisme yang dilakukan beliau untuk menyikapi tradisi yang telah berkembang kala itu. Pertama, menerima dan melestarikan tradisi yang dianggap baik, seperti tradisi musyawarah, kumpul-kumpul pada hari Jumat, dan khitan. Kedua, menerima dan memodifikasi tradisi yang secara substansi sudah baik, tetapi dalam beberapa aspek implementasinya bertentangan dengan semangat tauhid, misalnya ritus haji dan umroh, kurban, dan poligami. Ketiga menolak tradisi yang dianggap melanggengkan nilai, moralitas, dan karakter jahiliah, dan menggantikannya dengan tradisi baru yang mengembangkan dan memperkuat nilai, moralitas, dan karakter islami, seperti tradisi berjudi, berhala, minum-minuman keras, dan kawin kontrak. Menjadi seorang muslim tidak berarti harus kehilangan identitas sebagai orang Indonesia. Identitas keislaman dan keindonesiaan hendaknya dapat menyatu menjadi karakter yang utuh dalam diri kita.
Berbicara tentang karakteristik muslim Indonesia, artinya berbicara tentang relasi antara budaya Indonesia dan ajaran Islam. Juga perlu kita ketahui bahwa antara agama dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan karena agama tidak akan memanifestasi tanpa media budaya, dan budaya tidak akan bernilai luhur tanpa agama. Semula Islam memanifestasi dalam budaya Arab, lalu seiring dengan penyebaran Islam, ia pun termanifestasi dalam budaya-budaya lainnya.
Pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, keterlibatan Indonesia dengan dunia Islam lainnya meningkat secara signifikan. Jumlah orang yang berhaji ke Mekah meningkat, jumlah sarjana Indonesia yang pergi ke Timur Tengah untuk belajar agama juga meningkat secara signifikan. Pada periode itu berkembang pemikiran revivalisme Islam dengan semangat mengembalikan kemurnian Islam untuk mengembalikan kejayaan umat Islam. Beberapa pelajar Islam Indonesia yang belajar di Timur-Tengah mengadopsi gagasan revivalisme ini lalu membuat serangan kuat terhadap pemikiran keagamaan di Indonesia. Model keberagamaan Islam Indonesia yang “sinkretis” mendapat kecaman pedas dari kelompok ini. Menurut mereka, praktik keagamaan yang sinkretis membuat umat Islam kehilangan identitas keislaman yang murni dan terjerumus pada campur aduk antara Islam dan paganisme atau animisme-dinamisme. Manifestasi ekstrem dari kelompok ini bahkan menolak setiap bentuk persinggungan ajaran Islam dengan unsur- unsur budaya yang tidak berasal dari Islam itu sendiri.
Mereka juga menolak adanya pengaruh Hindu-Buddha, Kristen- Katolik, bahkan pengaruh budaya lokal yang sudah mapan di tengah masyarakat. Semua ekspresi keberagamaan yang merupakan perpaduan antara Islam dan budaya-budaya lain dianggap sudah tidak murni dan berbau bidah bahkan berbau syirik. Namun, ironisnya kelompok ini terjebak pada simplifikasi teologis karena menganggap bahwa budaya Islam adalah budaya Arab.
Revivalisme dengan gerakan purifikasinya kerap kali menjadi biang munculnya radikalisme. Radikalisme agama telah menjadi kekhawatiran bangsa karena praktik keberagamaan tersebut merapuhkan kebhinekaan dan kedamaian. Gerakan purifikasi ini mengingkari unsur lokalitas yang turut membentuk Islam Indonesia. Oleh karena itu, keberagamaan ini menafikan pluralisme sedemikian rupa sehingga cenderung intoleransi, eksklusifisme, anti-keragaman (multikulturalisme) dan pada titik kritis bisa melahirkan terorisme.
Dengan demikian, ditengarai adanya dua corak utama keberagamaan umat Islam Indonesia, yaitu sufistik tradisionalis dan revivalis fundamentalis. Kelompok pertama sangat akomodatif terhadap perbedaan dan pengaruh luar, bahkan toleran terhadap praktik-praktik keagamaan yang tidak sejalan dengan rasionalitas dan norma-norma Islam sendiri. Sebaliknya, kelompok kedua lebih rasional dalam menyikapi tradisi keagamaan, namun cenderung eksklusif dan agresif terhadap praktik-praktik yang dianggap tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran Islam.
 
Read more »»