Alasan mengapa adanya perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagaman
Terdapat dua hal yang secara
dominan mempengaruhi dinamika dan struktur social masyarakat, yaitu agama dan
budaya local Dalam masyarakat Indonesia, dua hal tersebut memiliki peranan
penting dalam membentuk karakter dan perilaku sosial yang kemudian sering
disebut sebagai "jati diri” orang Indonesia. Karakter tersebut mewarnai
hampir semua aspek sosial masyarakat Indonesia baik secara politik, ekonomi
maupun sosial budaya.
Dalam masyarakat
Indonesia, dua hal tersebut memiliki peranan penting dalam membentuk karakter
dan perilaku sosial yang kemudian sering disebut sebagai "jati diri” orang
Indonesia. Karakter tersebut mewarnai hampir semua aspek sosial masyarakat
Indonesia baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Rasul telah
mencontohkan cara melakukan akulturasi antara ajaran Islam dan tradisi bangsa
Arab pada abad ke-7. Ada tiga mekanisme yang dilakukan beliau untuk menyikapi
tradisi yang telah berkembang kala itu. Pertama, menerima dan melestarikan
tradisi yang dianggap baik, seperti tradisi musyawarah, kumpul-kumpul pada hari
Jumat, dan khitan. Kedua, menerima dan memodifikasi tradisi yang secara
substansi sudah baik, tetapi dalam beberapa aspek implementasinya bertentangan
dengan semangat tauhid, misalnya ritus haji dan umroh, kurban, dan poligami.
Ketiga menolak tradisi yang dianggap melanggengkan nilai, moralitas, dan
karakter jahiliah, dan menggantikannya dengan tradisi baru yang mengembangkan
dan memperkuat nilai, moralitas, dan karakter islami, seperti tradisi berjudi,
berhala, minum-minuman keras, dan kawin kontrak. Menjadi seorang muslim tidak
berarti harus kehilangan identitas sebagai orang Indonesia. Identitas keislaman
dan keindonesiaan hendaknya dapat menyatu menjadi karakter yang utuh dalam diri
kita.
Berbicara tentang
karakteristik muslim Indonesia, artinya berbicara tentang relasi antara budaya
Indonesia dan ajaran Islam. Juga perlu kita ketahui bahwa antara agama dan
kebudayaan tidak bisa dipisahkan karena agama tidak akan memanifestasi tanpa
media budaya, dan budaya tidak akan bernilai luhur tanpa agama. Semula Islam
memanifestasi dalam budaya Arab, lalu seiring dengan penyebaran Islam, ia pun
termanifestasi dalam budaya-budaya lainnya.
Pada abad kesembilan
belas dan awal abad kedua puluh, keterlibatan Indonesia dengan dunia Islam
lainnya meningkat secara signifikan. Jumlah orang yang berhaji ke Mekah
meningkat, jumlah sarjana Indonesia yang pergi ke Timur Tengah untuk belajar
agama juga meningkat secara signifikan. Pada periode itu berkembang pemikiran
revivalisme Islam dengan semangat mengembalikan kemurnian Islam untuk
mengembalikan kejayaan umat Islam. Beberapa pelajar Islam Indonesia yang
belajar di Timur-Tengah mengadopsi gagasan revivalisme ini lalu membuat
serangan kuat terhadap pemikiran keagamaan di Indonesia. Model keberagamaan
Islam Indonesia yang “sinkretis” mendapat kecaman pedas dari kelompok ini.
Menurut mereka, praktik keagamaan yang sinkretis membuat umat Islam kehilangan
identitas keislaman yang murni dan terjerumus pada campur aduk antara Islam dan
paganisme atau animisme-dinamisme. Manifestasi ekstrem dari kelompok ini bahkan
menolak setiap bentuk persinggungan ajaran Islam dengan unsur- unsur budaya
yang tidak berasal dari Islam itu sendiri.
Mereka juga menolak
adanya pengaruh Hindu-Buddha, Kristen- Katolik, bahkan pengaruh budaya lokal
yang sudah mapan di tengah masyarakat. Semua ekspresi keberagamaan yang
merupakan perpaduan antara Islam dan budaya-budaya lain dianggap sudah tidak
murni dan berbau bidah bahkan berbau syirik. Namun, ironisnya kelompok ini
terjebak pada simplifikasi teologis karena menganggap bahwa budaya Islam adalah
budaya Arab.
Revivalisme dengan
gerakan purifikasinya kerap kali menjadi biang munculnya radikalisme.
Radikalisme agama telah menjadi kekhawatiran bangsa karena praktik keberagamaan
tersebut merapuhkan kebhinekaan dan kedamaian. Gerakan purifikasi ini
mengingkari unsur lokalitas yang turut membentuk Islam Indonesia. Oleh karena
itu, keberagamaan ini menafikan pluralisme sedemikian rupa sehingga cenderung
intoleransi, eksklusifisme, anti-keragaman (multikulturalisme) dan pada titik
kritis bisa melahirkan terorisme.
Dengan demikian,
ditengarai adanya dua corak utama keberagamaan umat Islam Indonesia, yaitu
sufistik tradisionalis dan revivalis fundamentalis. Kelompok pertama sangat
akomodatif terhadap perbedaan dan pengaruh luar, bahkan toleran terhadap
praktik-praktik keagamaan yang tidak sejalan dengan rasionalitas dan
norma-norma Islam sendiri. Sebaliknya, kelompok kedua lebih rasional dalam
menyikapi tradisi keagamaan, namun cenderung eksklusif dan agresif terhadap
praktik-praktik yang dianggap tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran Islam.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar